Senin, 24 September 2012

Kajian Unsur Intrinsik Cerpen “Solawat Dedaunan”



Saya akan mencoba untuk menelaah unsur-unsur intrinsik yang ada pada cerpen “Solawat Dedaunan”.

Tema
Tema adalah gagasan yang menjalin stuktur isi cerita, yang menyangkut segala persoalan yaitu persoalan kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan, dan sebagainya.
Dari petikan di atas Pengarang ingin menyadarkan bahwa bagaiman kita harus bersikap sebagai umat muslim yang baik jangan memandang keadaan mesjid itu sepi padahal seharusnya berkewajiban untuk memakmurkan mesjid, besar atau kecil masjid itu dan bagus atau tidaknya masjid itu ,juga bangunan baru atau lama. 


Begitu besarnya pohon trembesi itu, dengan dahan dan cabangnya yang menjulur ke segala arah, membentuk semacam payung, membuat kita pun akan berpikir, masjid ini memang dipayungi trembesi. Cantik sekali. Namun, masjid ini sepi. Terutama jika siang hari. Subuh ada lima orang berjamaah, itu pun pengurus semua. Magrib, masih lumayan, bisa mencapi dua syaf. Isya...hanya paling banyak lima orang. Begitu setiap hari, entah sejak kapan dan akan sampai kapan hal itu berlangsung.”


Alur
     Alur merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab-akibat yang menyajikan peristiwa yang jalin-menjalin berdasar atas urutan waktu, urutan kejadian, atau hubungan tertentu. Alur pada cerpen ini dapat kita lihat ketika kemunculan si nenek di masjid tua itu.


“sesaat ketika kedua orang itu akan berdiri, di halaman dilihatnya ada seorang nenek tua tengah menyapu pandang. Haji Brahim pun menoleh dan dilihatnya nenek itu dengan badan bungkuk, tertatih mendekat.
“Alaikum salam....nek,” jawab salah seorang pengurus, sambil mengangsurkan uang 500-an. Tapi si nenek diam saja. Memandangi si pemberi uang dengan pandangannya yang tua. “Ada apa?” tanya Haji Brahim, seraya mendekat. “Saya tidak perlu uang. Saya perlu jalan ampunan.” Sesaat ketiga pngurus masjid itu terdiam. Angin bertiup merontokkan dedaunan trembesi. Satu dua buahnya gemeletak di atap.
“Silakan nenek ambil wudu dan shalat,” ujar Haji Brahim sambil tersenyum.
Nenek itu dian beberapa saat. Tanpa berkata apa pun, dia kemudian memungut daun yang tergelatak di halaman. Daun itu dipungutnya dengan kesungguhkan, lalu dimasukkannya ke kantong plastik lusuh, yang tadi dilipat dan diselipkan di setagen yang melilit pinggangnya. Setelah memasukkan daun itu ke kantong plastik, tangannya kembali memungut daun berikutnya. Dan berikutnya. Dan berikutnya.....
     Ketiga orang itu ternganga. Sesaat kemudian, karena melihat betapa susah payahnya si nenek melakukan pekerjaan sederhana itu, salah seorang kemudian mendekat dan membujuk agar si nenek berhenti. Tapi si nenek tetap saja memunguti daun-daun yang berserakan, nyaris menimbun permukaan halaman itu.



Alur cerpen ini diawali dengan pengenalan, lalu pengungkapan peristiwa, lalu puncak konflik dan penyelesaian peristiwa. 




Latar

            Latar ialah penempatan waktu dan tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Dan latar ini terbagi menjadi  tiga unsur pokok, yaitu latar tempat, latar waktu, latar sosial.
a.       Latar tempat
Lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam cerpen ini berada di masjid tua yang kecil di daerah Jawa. Dapat kita lihat pada petikan kalimat yaitu:
“Pada setiap helai yang dipungut dan ditatapnya sesaat dia menggumamkan “Gusti, mugi paringa aksama. Paringa kanugrahan dateng Kanjeng Nabi.” Sebelum dimasukkannya ke kantong plastik.”
Salah satu kata yag digumamkan oleh si nenek yaitu kata “aksama” merupakan kata yang berasal dari daerah Jawa yang artinya ampunan, memaafkan, kata ini merupakan kata Jawa ngoko atau Jawa lama.
b.      Latar waktu
Latar waktu pertama yaitu pada siang hari seuasi shalat Jumat. Dapat kita lihat dari petikan cerpen yaitu ;
“ Suatu siang, seusai shalat Jumat, ketika orang-orang sudah lenyap semua entah ke mana, Haji Brahim dan dua pengurus lainnya masih duduk bersila di lantai masjid.”

Latar waktu kedua yaitu pada malam hari sampai azan Subuh. Dapat kita lihat dari petikan cuplikan cerpen  yaitu :
“Malam itu, Haji Brahim pulang cukup larut karena merasa tak tega meninggalkan si nenek. Pengurus masjid yang semula akan menunggui, sepulang Haji Brahim, ternyata juga tak tahan. Bahkan, belum lima menit Haji Brahim pergi, diam-diam pelang.
Tak ada yang tahu apakah si nenek tertidur atau terjaga malam itu. Begitu subuh tiba, Mijo yang akan azan Subuh mendapati si nenek masih saja melakukan gerakan yang sama. Udara begitu dingin. Beberapa kali si nenek terbatuk.”

Latar waktu ketiga yaitu pada waktu Ashar atau sore dua hari kemudian. Dapat kita lihat yaitu :
“Dua hari kemudian, tepat ketika kumandang waktu Ashar terdengar, si nenek tersungkur dan meninggal.”



Penokohan

Penokohan adalah cara pengarang dalam menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita. Tokoh –  tokoh pada cerpen ini yaitu:
a.       Haji Brahim yaitu tokoh yang menjabat ketua masjid selama mungkin 30 tahun, orangnya berprinsip keras, Sabar dan tetap bersyukur dalam keadaan apapun tetapi membuka hati untuk melihat kebenaran.
Dapat kita lihat dari cuplikan cerpen itu yaitu ;
Bagi Haji Brahim, keadaan itu merisaukannya. Sejak, mungkin, 30 tahun lalu dia dipercaya untuk menjadi ketua masjid, keadaan tidak berubah. Bahkan, setiap Jumat, jumlah jemaah, paling banyak 45 orang. Pernah terpikir untuk memperluas bangunan, tetapi dana tak pernah cukup. Mencari sumbangan tidak mudah, dan Haji Brahim tak mengizinkan pengurus mencari sumbangan di jalan raya ----- sebagaimana dilakukan banyak orang___. “Seperti pengemis saja .......,”gumannya.

b.      Si nenek
Nenek tua  dengan badan bungkuk, berjalannya tertatih-tatih, keras, dan memiliki kepolosan dan keluguan. Dapat kita lihat dari penggalan cerpen itu yaitu ;
“Sesaat ketika kedua orang itu akan berdiri, di halaman dilihatnya ada seorang nenek tua tengah menyapu pandang. Haji Brahim pun menoleh dan dilihatnya nenek tiu dengan badan bungkuk, tertatih mendekat.
Haji Brahim tergetar oleh kepolosan dan keluguan si nenek. Di matanya, si nenek seperti ingin bersaksi di hadapan ribuan dedaunan bahwa dirinya sedang mencari jalan pengampunan.”


Sudut Pandang
 
Pada cerpen “Solawat Dedaunan” pengarang memposisikan diri sebagai tokoh tambahan. Dalam sudut pandang ini, tokoh “Aku” muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan.
Dengan demikian si “aku” hanya  tampil sebagai saksi saja. Si “aku” tampil sebagai pengantar dan penutup cerita.
Pada paragraf pertama :
“Lantainya menggunakan keramik putih-----kuduga itu baru kemudian dipasang, karena modelnya masih bisa dijumpai di toko-toko material.”

Paragraf Terakhir :

“Lama setelah kisah itu sampai kepadaku, aku tercenung. Rupanya, menurut Haji Brahim kepadaku, nenek itu hadir mungkin sebagai contoh. “Mungkin juga dia memang berdosa besar----- sesuai pengakuannya kepada saya, “ucap Haji Brahim kepadaku beberapa waktu lalu. “Dan....dia melakukan semacam istigfar dengna mengumpulkan sebanyak mungkin daun yang ada di halaman, mungkin begitu....saya tak yakin. Yang jelas, mata kami jadi terbuka. Sekarang masjid kami cukup ramai.”
“Pasti banyak yang mau menyapu halaman, “ godaku.
“Iya.....ha-ha-ha....benar.”
“Memagnya bisa begitu, Ji?”
“Maksudnya, ampunan Allah? Ya, saya yakin bisa saja. Allah maha-berkehendak, apa pun jika Dia berkenan, masak tidak dikabulkan?” ucap Haji Brahim tenang.
Aku terdiam. Kubayangkan dedaunan itu, yang jumlahnya mungkin ribuan helai itu, melayang ke hadirat Allah, membawa goresan permohonan ampun.”


Amanat
 
Amanat yang terkandung pada cerpen “Solawat Dedaunan” yaitu berusahalah mencari jalan pengampunan walaupun sampai ajal menjemput kita, berbuat amal lah karena mungkin setiap amalan itu akana menjadi saksi  di akhirat nanti.
 
“Dan....dia melakukan semacam istigfar dengan mengumpulkan sebanyak mungkin daun yang ada di halaman, mungkin begitu....saya tak yakin. Yang jelas, mata kami jadi terbuka. Sekarang masjid kami cukup ramai.”
“Pasti banyak yang mau menyapu halaman,” godaku.
“Iya.....ha-ha-ha....benar.”
“Memangnya bisa begitu, Ji?”
“Maksudnya, ampunan Allah? Ya, saya yakin bisa saja. Allah maha –berkehendak, apa pun jika Dia berkenan, masak tidak dikabulkan?” ucap Haji Brahim tenang.
Aku terdiam. Kubayangkan dedaunan itu, yang jumlahnya mungkin ribuan helai itu, melayang ke hadirat Allah, membawa goresan permohonan ampun.


Gaya Bahasa
 

Dalam cerpen “Solawat Dedaunan” gaya bahasa yang digunakan adalah bahasa lugas yang disajikan dengan sederhana.

“Tiga puluh ribu, Pak,” ucap salah seorang seperti protes pada entah apa.
“Alhamdulillah.”
“Dengan yang minggu lalu, jumlahnya 75.000. Belum cukup untuk beli cat tembok.”
“Ya, sudah.....nanti kan cukup,” ujar Haji brahim tenang”


Dapat kita lihat gaya bahasa yan lugas yang mudah dimengerti oleh siapapun.