Saya
akan mencoba untuk menelaah unsur-unsur intrinsik yang ada pada cerpen “Solawat
Dedaunan”.
Tema
Tema adalah gagasan yang
menjalin stuktur isi cerita, yang menyangkut segala persoalan yaitu persoalan
kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan, dan sebagainya.Dari petikan di atas Pengarang ingin menyadarkan bahwa bagaiman kita harus bersikap sebagai umat muslim yang baik jangan memandang keadaan mesjid itu sepi padahal seharusnya berkewajiban untuk memakmurkan mesjid, besar atau kecil masjid itu dan bagus atau tidaknya masjid itu ,juga bangunan baru atau lama.
Begitu besarnya pohon trembesi itu, dengan dahan dan
cabangnya yang menjulur ke segala arah, membentuk semacam payung, membuat kita
pun akan berpikir, masjid ini memang dipayungi trembesi. Cantik sekali. Namun,
masjid ini sepi. Terutama jika siang hari. Subuh ada lima orang berjamaah, itu
pun pengurus semua. Magrib, masih lumayan, bisa mencapi dua syaf. Isya...hanya
paling banyak lima orang. Begitu setiap hari, entah sejak kapan dan akan sampai
kapan hal itu berlangsung.”
Alur
Alur merupakan pola pengembangan cerita
yang terbentuk oleh hubungan sebab-akibat yang menyajikan peristiwa yang
jalin-menjalin berdasar atas urutan waktu, urutan kejadian, atau hubungan
tertentu. Alur pada cerpen ini dapat kita lihat ketika kemunculan si nenek di
masjid tua itu.
“sesaat ketika kedua orang itu akan berdiri, di
halaman dilihatnya ada seorang nenek tua tengah menyapu pandang. Haji Brahim
pun menoleh dan dilihatnya nenek itu dengan badan bungkuk, tertatih mendekat.
“Alaikum salam....nek,” jawab salah seorang
pengurus, sambil mengangsurkan uang 500-an. Tapi si nenek diam saja. Memandangi
si pemberi uang dengan pandangannya yang tua. “Ada apa?” tanya Haji Brahim,
seraya mendekat. “Saya tidak perlu uang. Saya perlu jalan ampunan.” Sesaat
ketiga pngurus masjid itu terdiam. Angin bertiup merontokkan dedaunan trembesi.
Satu dua buahnya gemeletak di atap.
“Silakan nenek ambil wudu dan shalat,” ujar Haji
Brahim sambil tersenyum.
Nenek itu dian beberapa saat. Tanpa berkata apa pun,
dia kemudian memungut daun yang tergelatak di halaman. Daun itu dipungutnya
dengan kesungguhkan, lalu dimasukkannya ke kantong plastik lusuh, yang tadi
dilipat dan diselipkan di setagen yang melilit pinggangnya. Setelah memasukkan
daun itu ke kantong plastik, tangannya kembali memungut daun berikutnya. Dan
berikutnya. Dan berikutnya.....
Ketiga
orang itu ternganga. Sesaat kemudian, karena melihat betapa susah payahnya si
nenek melakukan pekerjaan sederhana itu, salah seorang kemudian mendekat dan
membujuk agar si nenek berhenti. Tapi si nenek tetap saja memunguti daun-daun
yang berserakan, nyaris menimbun permukaan halaman itu.
Alur cerpen ini diawali dengan pengenalan, lalu
pengungkapan peristiwa, lalu puncak konflik dan penyelesaian peristiwa.
Latar
Dan
latar ini terbagi menjadi tiga unsur
pokok, yaitu latar tempat, latar waktu, latar sosial.
a. Latar
tempat
Lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
cerpen ini berada di masjid tua yang kecil di daerah Jawa. Dapat kita lihat
pada petikan kalimat yaitu:
“Pada setiap
helai yang dipungut dan ditatapnya sesaat dia menggumamkan “Gusti, mugi paringa
aksama. Paringa kanugrahan dateng Kanjeng Nabi.” Sebelum dimasukkannya ke
kantong plastik.”
Salah satu kata yag digumamkan oleh si
nenek yaitu kata “aksama” merupakan kata yang berasal dari daerah Jawa yang
artinya ampunan, memaafkan, kata ini merupakan kata Jawa ngoko atau Jawa lama.
b. Latar
waktu
Latar waktu pertama yaitu pada siang hari seuasi
shalat Jumat. Dapat kita lihat dari petikan cerpen yaitu ;
“ Suatu siang, seusai shalat
Jumat, ketika orang-orang sudah lenyap semua entah ke mana, Haji Brahim dan dua
pengurus lainnya masih duduk bersila di lantai masjid.”
Latar waktu kedua yaitu pada malam hari sampai azan
Subuh. Dapat kita lihat dari petikan cuplikan cerpen yaitu :
“Malam
itu, Haji Brahim pulang cukup larut karena merasa tak tega meninggalkan si
nenek. Pengurus masjid yang semula akan menunggui, sepulang Haji Brahim,
ternyata juga tak tahan. Bahkan, belum lima menit Haji Brahim pergi, diam-diam
pelang.
Tak
ada yang tahu apakah si nenek tertidur atau terjaga malam itu. Begitu subuh
tiba, Mijo yang akan azan Subuh mendapati si nenek masih saja melakukan gerakan
yang sama. Udara begitu dingin. Beberapa kali si nenek terbatuk.”
Latar waktu ketiga yaitu pada waktu Ashar atau sore
dua hari kemudian. Dapat kita lihat yaitu :
“Dua hari kemudian, tepat ketika
kumandang waktu Ashar terdengar, si nenek tersungkur dan meninggal.”
Penokohan
Penokohan adalah
cara pengarang dalam menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam
cerita. Tokoh – tokoh pada cerpen ini
yaitu:
a. Haji
Brahim yaitu tokoh yang menjabat ketua masjid selama mungkin 30 tahun, orangnya
berprinsip keras, Sabar dan tetap bersyukur dalam keadaan apapun tetapi membuka
hati untuk melihat kebenaran.
Dapat kita lihat dari cuplikan cerpen itu yaitu ;
“Bagi Haji Brahim, keadaan itu merisaukannya.
Sejak, mungkin, 30 tahun lalu dia dipercaya untuk menjadi ketua masjid, keadaan
tidak berubah. Bahkan, setiap Jumat, jumlah jemaah, paling banyak 45 orang.
Pernah terpikir untuk memperluas bangunan, tetapi dana tak pernah cukup. Mencari
sumbangan tidak mudah, dan Haji Brahim tak mengizinkan pengurus mencari sumbangan
di jalan raya ----- sebagaimana dilakukan banyak orang___. “Seperti pengemis
saja .......,”gumannya.
b. Si
nenek
Nenek tua
dengan badan bungkuk, berjalannya tertatih-tatih, keras, dan memiliki
kepolosan dan keluguan. Dapat kita lihat dari penggalan cerpen itu yaitu ;
“Sesaat ketika kedua orang itu
akan berdiri, di halaman dilihatnya ada seorang nenek tua tengah menyapu
pandang. Haji Brahim pun menoleh dan dilihatnya nenek tiu dengan badan bungkuk,
tertatih mendekat.
Haji Brahim tergetar oleh
kepolosan dan keluguan si nenek. Di matanya, si nenek seperti ingin bersaksi di
hadapan ribuan dedaunan bahwa dirinya sedang mencari jalan pengampunan.”
Sudut
Pandang
Pada cerpen “Solawat Dedaunan” pengarang
memposisikan diri sebagai tokoh tambahan. Dalam sudut pandang ini, tokoh “Aku”
muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan.
Dengan demikian si “aku” hanya tampil sebagai saksi saja. Si “aku” tampil
sebagai pengantar dan penutup cerita.
Pada
paragraf pertama :
“Lantainya
menggunakan keramik putih-----kuduga itu baru kemudian dipasang, karena
modelnya masih bisa dijumpai di toko-toko material.”
Paragraf
Terakhir :
“Lama
setelah kisah itu sampai kepadaku, aku tercenung. Rupanya, menurut Haji Brahim
kepadaku, nenek itu hadir mungkin sebagai contoh. “Mungkin juga dia memang
berdosa besar----- sesuai pengakuannya kepada saya, “ucap Haji Brahim kepadaku
beberapa waktu lalu. “Dan....dia melakukan semacam istigfar dengna mengumpulkan
sebanyak mungkin daun yang ada di halaman, mungkin begitu....saya tak yakin.
Yang jelas, mata kami jadi terbuka. Sekarang masjid kami cukup ramai.”
“Pasti
banyak yang mau menyapu halaman, “ godaku.
“Iya.....ha-ha-ha....benar.”
“Memagnya
bisa begitu, Ji?”
“Maksudnya,
ampunan Allah? Ya, saya yakin bisa saja. Allah maha-berkehendak, apa pun jika
Dia berkenan, masak tidak dikabulkan?” ucap Haji Brahim tenang.
Aku
terdiam. Kubayangkan dedaunan itu, yang jumlahnya mungkin ribuan helai itu,
melayang ke hadirat Allah, membawa goresan permohonan ampun.”
Amanat
Amanat yang terkandung pada cerpen “Solawat
Dedaunan” yaitu berusahalah mencari jalan pengampunan walaupun sampai ajal
menjemput kita, berbuat amal lah karena mungkin setiap amalan itu akana menjadi
saksi di akhirat nanti.
“Dan....dia
melakukan semacam istigfar dengan mengumpulkan sebanyak mungkin daun yang ada
di halaman, mungkin begitu....saya tak yakin. Yang jelas, mata kami jadi
terbuka. Sekarang masjid kami cukup ramai.”
“Pasti
banyak yang mau menyapu halaman,” godaku.
“Iya.....ha-ha-ha....benar.”
“Memangnya
bisa begitu, Ji?”
“Maksudnya,
ampunan Allah? Ya, saya yakin bisa saja. Allah maha –berkehendak, apa pun jika
Dia berkenan, masak tidak dikabulkan?” ucap Haji Brahim tenang.
Aku
terdiam. Kubayangkan dedaunan itu, yang jumlahnya mungkin ribuan helai itu,
melayang ke hadirat Allah, membawa goresan permohonan ampun.
Gaya
Bahasa
Dalam cerpen “Solawat Dedaunan” gaya bahasa yang
digunakan adalah bahasa lugas yang disajikan dengan sederhana.
“Tiga
puluh ribu, Pak,” ucap salah seorang seperti protes pada entah apa.
“Alhamdulillah.”
“Dengan
yang minggu lalu, jumlahnya 75.000. Belum cukup untuk beli cat tembok.”
“Ya,
sudah.....nanti kan cukup,” ujar Haji brahim tenang”
Dapat kita lihat gaya
bahasa yan lugas yang mudah dimengerti oleh siapapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar